Apa itu attention deficit hyperactivity disorder atau ADHD?
ADHD adalah gangguan jangka panjang yang menyerang jutaan anak dengan gejala-gejala
yang dapat berlangsung hingga dewasa. Siapa saja memiliki kemungkinan
untuk menderita ADHD, tapi kondisi ini umumnya dialami oleh orang-orang
dengan gangguan belajar.
Beberapa gejala dalam perilaku yang dialami penderita ADHD meliputi
sulit konsentrasi serta munculnya perilaku hiperaktif dan impulsif.
Gejala-gejala ADHD umumnya terlihat sejak usia dini dan cenderung makin
jelas ketika terjadi perubahan pada situasi di sekitar sang anak,
misalnya mulai belajar di sekolah. Sebagian besar kasus ADHD terdeteksi
pada usia 6-12 tahun. Anak-anak dengan ADHD cenderung rendah diri, sulit
berteman, serta memiliki prestasi yang kurang memadai. ADHD
cenderung lebih sering terjadi dan mudah terdeteksi pada laki-laki
daripada perempuan. Contohnya anak laki-laki umumnya memiliki perilaku
yang lebih hiperaktif sementara anak perempuan cenderung lebih diam,
tapi sulit berkonsentrasi.
Diagnosis ADHD
Tidak semua anak yang sulit konsentrasi dan hiperaktif pasti menderita ADHD. Anak-anak yang sehat umumnya sangat aktif dan sering membuat orang tuanya kewalahan. Remaja juga demikian. Walau terlihat seperti tidak mendengarkan pembicaraan, berperilaku impulsif, serta perhatian mereka cenderung mudah teralihkan, mereka belum tentu mengidap ADHD. Oleh sebab itu, diagnosis ADHD membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak. Sejumlah pemeriksaan fisik serta psikologis dari dokter anak dan ahli psikiatri akan dijalani. Selain keluarga, pihak sekolah khususnya guru juga sebaiknya terlibat dalam proses ini. Sedangkan proses diagnosis pada penderita ADHD dewasa tergolong sulit. Diagnosis ADHD biasanya hanya bisa dipastikan jika penderita sudah mengalami gejala-gejala ADHD sejak masa kanak-kanak. Dokter dan ahli psikiatri juga akan melibatkan keluarga (khususnya orang tua), guru, serta kenalan pasien untuk menanyakan perilaku pasien saat masih anak-anak. Menurut para ahli, pasien tidak dianggap menderita ADHD jika gejala-gejala tersebut tidak dialaminya sejak masa kanak-kanak.
Gejala ADHD
Gejala-gejala ADHD umumnya terlihat sejak usia dini, yaitu sebelum usia enam tahun dan cenderung makin jelas ketika terjadi perubahan pada situasi di sekitar sang anak, misalnya mulai belajar di sekolah. Sebagian besar kasus ADHD terdeteksi pada usia 6-12 tahun dengan gejala yang meliputi:
- Sulit berkonsentrasi.
- Sulit mematuhi instruksi.
- Cenderung terlihat tidak mendengarkan.
- Mudah merasa bosan.
- Tidak bisa diam atau gelisah.
- Tidak sabar.
- Sering lupa dan kehilangan barang, misalnya alat tulis.
- Kesulitan dalam mengatur.
- Sering tidak menyelesaikan tugas yang diberikan dan beralih-alih tugas.
- Selalu bergerak atau sangat aktif secara fisik.
- Bertindak tanpa berpikir panjang.
- Kurang memahami bahaya atau konsekuensi buruk.
- Sering memotong pembicaraan orang lain.
Penyebab ADHD
Penyebab ADHD belum bisa diketahui dengan pasti. Tetapi sejumlah penelitian menunjukkan bahwa risiko seseorang untuk menderita kondisi ini dapat disebabkan oleh kombinasi dari beberapa faktor.
- Faktor keturunan. Memiliki ibu, ayah, atau saudara dengan kondisi yang sama atau gangguan mental lain.
- Kelahiran prematur.
- Kelainan pada struktur atau fungsi otak.
- Kerusakan otak yang terjadi dalam kandungan atau usia dini.
- Ibu yang menggunakan obat-obatan terlarang, mengonsumsi minuman keras, serta merokok selama masa kehamilan.
- Ibu yang terpajan racun dari lingkungan sekitar, misalnya senyawa bifenil poliklorin (PCB).
- Pajanan racun dari lingkungan sekitar pada masa anak-anak, misalnya timah yang terdapat dalam cat.
Faktor Risiko dalam ADHD
Penyebab ADHD belum diketahui dengan pasti. Tetapi sejumlah penelitian menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi tingkat risiko seseorang. Faktor-faktor risiko tersebut antara lain faktor keturunan, pengaruh kelainan pada sistem saraf pusat, serta pengaruh kelahiran prematur.
Penanganan ADHD
Meski tidak bisa disembuhkan sepenuhnya, ada beberapa jenis obat
serta terapi untuk ADHD yang dapat dipilih. Langkah-langkah penanganan
ini dilakukan guna meringankan gejala sehingga penderita dapat menikmati
hidup yang normal dan lebih berkualitas. Meski demikian, tidak
ada jalan pintas untuk menangani ADHD. Dibutuhkan komitmen waktu, emosi,
serta finansial untuk menemukan kombinasi metode penanganan ADHD yang
tepat dan cocok untuk Anda atau anak Anda.
Penanganan dengan Obat-obatan
Meski
tidak bisa menyembuhkan, obat-obatan dapat mengurangi gejala-gejala
ADHD. Terdapat empat jenis obat yang biasa digunakan, yaitu methylphenidate, dexamfetamine, lisdexamfetamine, dan atomoxetine. Methylphenidate, dexamfetamine, dan lisdexamfetamine termasuk
dalam golongan obat stimulan. Obat-obatan ini akan memicu peningkatan
aktivitas otak, terutama pada bagian yang mengendalikan kemampuan
konsentrasi dan perilaku. Efek obat-obat ini adalah penderita menjadi
lebih tenang, kurang impulsif, dan bisa fokus. Methylphenidate umumnya
digunakan untuk remaja dan anak-anak di atas enam tahun. Jika pasien
tidak cocok dengan obat ini, dokter akan menggantinya dengan dexamfetamine. Sementara dexamfetamine dianjurkan untuk anak-anak di atas usia tiga tahun. Jika obat jenis stimulan tidak cocok untuk pasien, misalnya karena alasan kesehatan tertentu, dokter biasanya akan memberikan atomoxetine. Obat ini termasuk jenis selective noradrenaline reuptake inhibitor (SNRI).
SNRI akan meningkatkan kadar senyawa noradrenalin dalam otak sehingga
dapat membantu daya konsentrasi dan mengendalikan impuls. Atomoxetine bisa diresepkan untuk remaja dan anak-anak di atas enam tahun. Semua
obat pasti memiliki efek samping, termasuk obat-obatan untuk ADHD.
Beberapa efek samping yang umum terjadi saat menggunakannya adalah sakit kepala, tidak nafsu makan, dan gangguan pencernaan. Tetapi pengguna atomoxetine
harus lebih waspada karena obat ini juga diduga dapat memicu efek
samping yang lebih serius, yaitu memicu keinginan bunuh diri serta
kerusakan hati. Pasien yang sudah menjalani langkah penanganan
sebaiknya memeriksakan diri secara rutin ke dokter sampai gejala-gejala
ADHD berkurang secara signifikan. Setelah kondisinya membaik pun, pasien
tetap dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan secara berkala.
Penanganan Melalui Terapi
Selain
obat, penanganan ADHD dapat dilengkapi dengan terapi. Metode ini juga
berguna untuk menangani gangguan-gangguan lain yang mungkin menyertai
ADHD, misalnya depresi. Jenis-jenis terapi yang dapat menjadi pilihan meliputi:
- Terapi perilaku kognitif atau CBT (cognitive behavioural therapy). Terapi ini akan membantu penderita ADHD untuk mengubah pola pikir dan perilaku saat menghadapi masalah atau situasi tertentu.
- Terapi psikologi. Penderita ADHD akan diajak untuk berbagi cerita dalam terapi ini, misalnya kesulitan mereka dalam mengatasi gejala-gejala ADHD dan mencari cara untuk mengatasi gejala.
- Pelatihan interaksi sosial. Jenis terapi ini dapat membantu penderita ADHD untuk memahami perilaku sosial yang layak dalam situasi tertentu.
Orang-orang
yang dekat dengan penderita ADHD seperti orang tua, saudara, serta guru
juga membutuhkan pengetahuan serta bantuan agar dapat membimbing para
penderita. Berikut ini beberapa jenis terapi dan pelatihan yang mungkin
dapat berguna.
- Terapi perilaku. Dalam terapi ini, orang tua serta perawat penderita ADHD akan dilatih untuk menyusun strategi guna membantu si penderita dalam berperilaku sehari-hari dan mengatasi situasi yang sulit. Misalnya dengan menerapkan sistem pujian untuk menyemangati pasien.
- Program pelatihan dan pengajaran untuk orang tua. Selain membantu orang tua untuk lebih memahami perilaku penderita ADHD, langkah ini juga dapat memberikan gambaran tentang bimbingan spesifik yang dibutuhkan penderita.
ADHD memang tidak bisa
disembuhkan, tapi diagnosis dan penanganan yang tepat sejak dini dapat
membantu penderita dalam beradaptasi dengan kondisi dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar